Bulan Oktober telah dicanangkan menjadi Bulan Bahasa, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara (BBPSU) mengadakan serangkaian kegiatan di bulan ini.  Bincang Sastra membuka Bulan Bahasa dengan menghadirkan tiga sastrawan mumpuni yang masih muda, yaitu Jenry Koraag, Rahadih Gedoan, dan Achi Breyvi Talanggai.  Topik pembicaraan pada perkembangan sastra di Sulawesi Utara (Sulut).

Pembicara pertama, Jenry Koraag, Ketua Harian Dewan Kesenian Kota Manado memulai dengan pendapat bahwa sejarah kesusastraan di Sulut belum ada yang menulis menurut rentetan waktu. . Penulisan sejarah kesusastraan di Sulut dapat dimulai dengan tokoh J.E. Tatengkeng.  Dia juga menyatakan karya sastra yang terdokumentasi di Sulut masih sedikit dibutuhkan perhatian lebih dari pemerintah.

Pembicara kedua, Achi Breyvi Talanggai yang merupakan Ketua Isbima, Institut Seni Budaya Independen Manado. Dia menyatakan bahwa di Sulut banyak sastrawan muda dan kelompok baru masih merasa sungkan untuk tampil. Penulis-penulis muda banyak yang berhenti berkarya karena terkendala dengan memublikasikan karyanya, mereka tidak dapat menerbitkan karya karena mahalnya penerbitan, penerbitan yang murah berada di luar Sulut. Dia juga menyatakan bahwa kendala yang dihadapi sastrawan di Sulut, yaitu tidak adanya industri sastra yang dapat memasarkan karya mereka, dalam hal penulisan tidak adanya penerbit yang tersedia dan murah di Sulut.  Sastrawan selama ini hanya terbantu dari pembayaran royalti yang mementaskan karya mereka.

Pembicara ketiga, Rahadih Gedoan, Ketua Komunitas Setali Sekawan memaparkan materinya menjadi tiga bagian besar, yaitu Sulut merupakan daerah produksi sastra yang tinggi di bidang keagamaan, Fenomena baru yang kurang diseriusi oleh para sastrawan, yakni sastra digital, dan kegiatan bersastra di Sulut masih belum terorganisasi dengan baik. Sastrawan yang berinisiatif sangat banyak, tetapi butuh pemerintah untuk dapat menjaga kelansungan bersastra di Sulut.

Pada kesempatan tersebut, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara turut berpendapat tentang kesastraan di Sulut.  Menurut beliau, Kasastraan tidak hanya tanggung jawab pemerintah pusat melalui BBPSU, tetapi semua kalangan harus terlibat khususnya pemerintah daerah.  Pembinaan sastra harus dimulai dari usia dini agar tertanam nilai kesastraan yang kuat. Bincang sastra diakhiri dengan foto bersama semua peserta yang hadir.


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *